Belakangan ini media sosial terutama aplikasi X (Twitter) dan Instagram, ramai dengan tagar #KaburAja Dulu. Hal ini disebabkan oleh banyaknya anak muda Indonesia yang memilih untuk meninggalkan Indonesia demi bekerja atau melanjutkan studi di luar negeri. Namun, alasan ini juga didorong oleh semakin sulitnya kesempatan untuk bekerja dan berkarir di Indonesia, dengan berbagai syarat dan ketentuan yang dirasa tidak begitu relevan sebagai persyaratan utama.
Trend #KaburAjaDulu menjadi perbincangan hangat, dengan beragam perspektif. Apalagi, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sempat menyatakan bahwa jiwa nasionalisme anak muda yang pindah ke luar negeri patut diragukan. Pernyataan ini pun menuai berbagai opini. Salah satunya datang dari seorang guru TK yang saat ini tinggal di Jerman. Menurutnya, nasionalisme tidak ditentukan oleh tempat tinggal seseorang, melainkan oleh kontribusinya terhadap Indonesia.
Selain itu, terdapat beberapa kisah menarik terkait fenomena ini. Dodi, Kepala Desa di Ciamis, memilih mundur dari jabatannya untuk bekerja di Jepang. Ada pula Rosita, seorang wanita yang pernah gagal menjadi Polwan karena tidak memenuhi syarat tinggi badan minimum, namun kini sukses menjadi Letnan Kolonel di Tentara Amerika Serikat.
Tren #KaburAja Dulu membuka ruang bagi anak muda Indonesia di luar negeri untuk membagikan pengalaman dan opini mereka. Kejadian ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk sikap kritis serta sindiran terhadap kondisi di dalam negeri, terutama terkait situasi politik dan ketenagakerjaan. Pemerintah sebaiknya mengevaluasi kembali kebijakan dan regulasi yang ada.
Selain itu, banyak anak muda yang merasa bahwa karya-karya mereka kurang mendapatkan dukungan dan apresiasi. Dalam dunia kerja, berbagai persyaratan yang dianggap tidak relevan, seperti penampilan menarik (good looking), kesediaan bekerja di bawah tekanan, batasan usia, dan kriteria lainnya, yang semakin mempersempit peluang mereka untuk berkembang di dalam negeri.
Penulis: Alternatif
Editor: Nayla Azaria
