“Sebuah sistem tak selalu membunuh dengan kekerasan; terkadang, ia membunuh lewat diam dan pengabaian. Dan dalam sistem pendidikan, keheningan terhadap ketimpangan gender adalah bentuk kekerasan paling terdidik, paling halus, namun paling kejam."
Pendidikan kerap disebut sebagai alat pembebasan, tetapi dalam banyak konteks justru menjelma menjadi instrumen penjinakan. Ketika sekolah gagal memberi ruang bagi suara perempuan, ketika kurikulum membisukan tokoh perempuan, dan ketika guru tidak sadar tengah mereproduksi bias patriarkal, maka yang berlangsung bukanlah proses mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan proses mewariskan ketimpangan secara intelektual. Kita tidak kekurangan sekolah, tetapi kekurangan keberpihakan. Sebab keadilan tidak lahir dari sistem yang netral, melainkan dari sistem yang sadar siapa yang selama ini dibungkam.
Pendidikan seharusnya menjadi hak semua orang tanpa terkecuali. Namun realitas berkata lain. Di banyak tempat, perempuan dan anak perempuan masih diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam akses pendidikan. Ini bukan sekadar statistik, tetapi bentuk kekerasan struktural yang sistemik. Ketika pendidikan menjadi barang mewah bagi sebagian gender, kita sesungguhnya sedang menciptakan ketidakadilan yang diwariskan lintas generasi.
UNESCO (2023) mencatat lebih dari 122 juta anak perempuan di dunia tidak mengenyam pendidikan dasar dan menengah. Angka tersebut bukan hanya kegagalan kebijakan, tetapi cermin budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai pihak kedua. Pendidikan yang tidak adil adalah cara paling halus namun fatal untuk membungkam potensi perempuan. Karena itu, memperjuangkan kesetaraan gender dalam pendidikan bukan hanya soal moralitas, tetapi soal membela yang tertindas dan mengoreksi sejarah panjang ketidakadilan.
Menjauhkan perempuan dari pendidikan berarti menutup rapat pintu kemajuan. Kita tidak bisa berbicara tentang peradaban jika separuh umat manusia terus dibatasi hak belajarnya. McKinsey Global Institute (2015) menyebut bahwa jika kesetaraan gender tercapai, yang salah satunya dimulai dari kesetaraan dalam pendidikan, maka GDP global dapat meningkat hingga USD 12 triliun. Lebih dari itu, pendidikan memberikan perempuan kekuatan untuk menentukan arah hidupnya sendiri.
Di Indonesia, meski angka partisipasi sekolah perempuan meningkat menurut BPS (2023), ketimpangan masih terasa, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Anak perempuan lebih mudah ditarik keluar dari sekolah saat keluarga kekurangan biaya. Mereka menjadi korban kemiskinan dan budaya yang menganggap pendidikan perempuan tidak sepenting laki-laki. Ini bukan sekadar ketidaksengajaan, melainkan hasil dari sistem yang lama mengabaikan suara perempuan.
Perempuan yang memperoleh pendidikan layak tidak hanya mengubah hidupnya, tetapi juga komunitas di sekitarnya. Mereka cenderung menunda pernikahan dini, berani mengambil keputusan atas tubuh dan masa depannya, serta menciptakan generasi yang lebih sehat dan terdidik. Ini adalah efek domino positif yang harus terus didorong.
Kita memerlukan lebih dari sekadar bangku sekolah. Kita memerlukan pendidikan yang membebaskan, bukan menindas. Seperti disampaikan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan harus membuat mereka yang tertindas sadar akan posisinya dan berani menuntut keadilan. Dalam konteks ini, pendidikan adalah ruang politis tempat anak perempuan harus dibekali kemampuan berpikir kritis untuk mempertanyakan norma-norma yang mengekang mereka.
Sistem pendidikan kita terlalu lama diam terhadap ketimpangan. Buku teks yang meminggirkan tokoh perempuan, narasi sejarah yang maskulin, serta guru yang tidak peka terhadap isu gender merupakan bentuk kekerasan simbolik yang melanggengkan dominasi. Kurikulum harus berani berubah. Pendidikan gender bukan aksesori, melainkan inti dari pendidikan yang adil.
Malala Yousafzai, yang hampir kehilangan nyawa karena memperjuangkan pendidikan bagi perempuan di Pakistan, pernah berkata, “Satu anak, satu guru, satu buku, dan satu pena dapat mengubah dunia.” Namun perubahan itu hanya mungkin terjadi jika pendidikan dapat diakses oleh mereka yang paling dibungkam.
Kesenjangan sosial tidak akan hilang jika perempuan terus tertinggal dalam akses pendidikan. World Bank (2022) menunjukkan bahwa perempuan yang menyelesaikan pendidikan menengah atas memiliki kemungkinan dua kali lebih besar menghindari pernikahan dini dan tiga kali lebih besar masuk sektor kerja formal.
Perempuan berpendidikan adalah agen perubahan. Mereka bukan hanya menciptakan ekonomi rumah tangga yang lebih stabil, tetapi juga masyarakat yang lebih peduli, lebih sehat, dan lebih demokratis. Mereka menyuarakan yang tak bersuara dan membuka ruang bagi generasi berikutnya untuk hidup lebih setara.
Di ranah politik, pendidikan memungkinkan perempuan duduk di meja pengambil kebijakan. Menurut KPU (2024), 23,6% anggota parlemen perempuan berasal dari latar belakang pendidikan tinggi. Ketika perempuan terdidik masuk ruang kekuasaan, kebijakan yang adil gender lebih mungkin terwujud. Pendidikan bukan sekadar angka, tetapi persoalan keadilan struktural.
Perjuangan kesetaraan gender dalam pendidikan adalah perjuangan panjang melawan sistem yang lama membisukan perempuan. Ini bukan pertempuran yang dimenangkan dengan retorika, tetapi melalui kebijakan dan tindakan nyata.
Pertama, negara harus hadir dengan kebijakan afirmatif. Undang-undang perlindungan perempuan dan anak harus ditegakkan tanpa kompromi. Sekolah harus menjadi ruang aman, bukan tempat reproduksi kekerasan berbasis gender.
Kedua, kurikulum harus direformasi agar sensitif gender. Buku pelajaran harus menghadirkan tokoh perempuan, sementara diskusi kelas perlu membongkar stereotip yang mengakar. Guru harus dibekali pelatihan agar memahami bahwa netralitas bukan berarti tidak berpihak kepada korban.
Ketiga, program afirmasi seperti beasiswa bagi anak perempuan di daerah miskin harus diperluas. Jangan biarkan kemiskinan menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk bermimpi.
Karlina Supelli, filsuf dan aktivis feminis Indonesia, mengingatkan, “Tanpa pendidikan yang adil, kita hanya mencetak generasi yang mewarisi ketidakadilan.” Maka tugas kita adalah memutus mata rantai itu.
Kesetaraan gender dalam pendidikan bukan proyek belas kasihan. Ini langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang beradab, setara, dan kuat. Kita tidak bisa terus membiarkan pendidikan hanya melayani mereka yang berada di atas. Pendidikan harus menjadi senjata untuk membebaskan yang tertindas.
Karena revolusi sosial tidak lahir dari seminar elite atau janji politisi, tetapi dari ruang kelas yang berani berpihak; dari guru yang membela murid perempuan; dari kurikulum yang membongkar ketidakadilan; dari keberanian untuk berkata: cukup sudah.
Dan perjuangan itu dimulai hari ini. Di sekolah. Bersama mereka yang paling lama dibungkam, yaitu Perempuan.
Penulis: Lindiani
Editor: Nayla Azaria