Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Equality Before The Law: Persamaan Kedudukan di Mata Hukum?

Senin, 24 November 2025 | November 24, 2025 WIB Last Updated 2025-11-25T02:49:18Z



Equality before the Law merupakan salah satu pilar fundamental dalam sistem hukum Indonesia. Pada hakikatnya, asas ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Prinsip tersebut tercantum secara gamblang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Bahkan dalam lingkup internasional, prinsip serupa ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Rights (1948) Pasal 7: “All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law.”


Namun, meskipun prinsip ini begitu jelas dan tegas, realitas di Indonesia menunjukkan hal sebaliknya. Penegakan hukum yang seharusnya berlaku adil tanpa pandang bulu justru sering kali menunjukkan ketidakselarasan antara teori dan praktik.


Fenomena “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah” bukan sekadar ungkapan pesimistis, tetapi gambaran nyata dari kondisi hukum yang memprihatinkan. Mereka yang memiliki kekuasaan atau kedudukan kerap menjadi pihak yang “kebal” hukum, sementara masyarakat biasa sering kali menjadi sasaran empuk penegakan hukum. Disparitas hukum seperti ini bukan hanya mencederai keadilan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum.


Kasus Marsinah menjadi salah satu contoh yang paling menyayat nurani. Seorang aktivis buruh yang memperjuangkan hak kaumnya justru meregang nyawa, dan hingga kini pelaku pembunuhannya tidak pernah terungkap. Keadilan seolah tidak berpihak kepada yang lemah.


Contoh lain tampak pada kasus Nenek Minah, seorang petani kecil yang mengambil tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan. Ia dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan, dan mirisnya proses hukum tersebut berlangsung dengan sangat cepat dalam bulan yang sama. Dibandingkan dengan berbagai kasus besar seperti korupsi proyek E-KTP yang melibatkan Setya Novanto, ketimpangan ini begitu jelas terlihat. Kasus korupsi tersebut terjadi pada 2011–2012, terbongkar pada 2014, dan baru mencapai putusan final pada 2020. Proses hukum terhadap pejabat tinggi berjalan lambat, berliku, serta penuh polemik.


Realitas tersebut mempertegas bahwa prinsip Equality before the Law di Indonesia masih jauh dari harapan. Jika hukum hanya tajam kepada rakyat kecil tetapi tumpul kepada mereka yang berpengaruh, maka prinsip keadilan hanya tinggal slogan tanpa makna.


Pada titik ini, pertanyaan penting harus diajukan: di mana sebenarnya Equality before the Law itu berada? Asas tersebut seharusnya tidak hanya menjadi teks dalam konstitusi, tetapi juga diwujudkan secara konkret dalam praktik penegakan hukum. Tanpa keberanian untuk menegakkan keadilan secara konsisten, hukum tidak akan pernah menjadi pelindung masyarakat, melainkan sekadar alat yang melayani kepentingan tertentu.


Penulis: Adinda Salsabila (Mahasiswa Fakultas Hukum - Universitas Bangka Belitung)

Editor: Nayla Azaria

×
Berita Terbaru Update