Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Ketika Proses Dibunuh Pelan-Pelan: Kritik Mahasiswa atas Sikap KPUM dan Bawaslu

Senin, 24 November 2025 | November 24, 2025 WIB Last Updated 2025-11-25T14:49:18Z


Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) seharusnya menjadi ruang belajar sederhana, tetapi paling bermakna bagi demokrasi kampus. Tempat di mana mahasiswa belajar menghormati proses, menjaga integritas, dan memilih pemimpin yang lahir dari kerja nyata, bukan dari rekayasa kekuasaan. Namun tahun ini, harapan itu terasa dipatahkan perlahan. Demokrasi seolah dikubur pelan-pelan tanpa upacara dan tanpa rasa bersalah.


Mahasiswa pernah bermimpi sederhana bahwa presiden dan wakil presiden mahasiswa terpilih adalah mereka yang bekerja, bukan mereka yang dilindungi oleh keberpihakan lembaga. Namun, realitas Pemilwa tahun ini memaksa kita menelan kenyataan pahit bahwa demokrasi di kampus tidak berjalan sebagaimana mestinya. Prosesnya tergesa-gesa, penuh aroma keberpihakan, dan kehilangan prinsip keadilan yang seharusnya menjadi landasannya.


KPUM dan Bawaslu, lembaga yang seharusnya independen, justru menunjukkan wajah sebaliknya. Mereka tampak menggunakan aturan sebagai tameng untuk menyingkirkan calon. Kesempatan untuk berkompetisi yang adil justru dihentikan di meja verifikasi melalui keputusan yang menimbulkan banyak tanda tanya. 


Ironinya hal ini terjadi tepat di depan mata. Mahasiswa kini bertanya, apa bedanya demokrasi kampus ini dengan politik kotor yang selama ini kita kritik keras di luar sana. Jika mahasiswa selama ini dikenal sebagai kelompok yang lantang mengevaluasi dan mengkritik negara, mengapa ketika mengelola politik internal sendiri prosesnya justru terjebak pada pola yang sama?


Ada rasa sedih yang tidak bisa disembunyikan. Yang rusak bukan hanya prosedur tetapi harapan. Yang dipatahkan bukan hanya calon tetapi kepercayaan. Yang dimatikan bukan hanya peluang tetapi ruang belajar dalam demokrasi itu sendiri.


Kini muncul pertanyaan, apakah kepemimpinan kampus yang akan lahir nanti benar-benar representatif, atau hanya bayangan kekuasaan yang dirancang oleh segelintir orang? Atau lebih buruk lagi, apakah hari ini kita menyaksikan sebuah rezim kecil yang memastikan suara berbeda disingkirkan sebelum sempat berjalan?


Mahasiswa yang masih mencintai proses organisasi perlahan merasakan kehilangan jati diri. Niat berkontribusi dipatahkan oleh keberpihakan yang tidak semestinya ada. Dan lebih menyakitkan, suara ini datang dari kami yang pernah percaya pada sistem ini. Kami yang pernah mendukung, mengapresiasi, dan pernah percaya. Kini kami menjadi saksi bagaimana proses itu dirusak dari dalam oleh lembaga yang seharusnya menjaga marwah demokrasi kampus. Luka itu nyata bukan hanya pada calon, tetapi milik seluruh mahasiswa yang berharap Pemilwa menjadi ruang belajar, bukan ruang manipulasi.


Dengan segala kerendahan hati, kami pasangan calon Subri Rahmadani dan Muhammad Sandika,  menyampaikan permohonan maaf atas apa yang terjadi hari ini. Barangkali ada kekecewaan, ada luka, dan ada rasa tidak adil yang tumbuh di tengah perjalanan yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran bagi kita semua.  Namun, ada satu hal yang harus ditegaskan. Tidak semua orang yang ingin belajar harus disebut aktivis. Tidak semua orang harus tampil lantang. Tidak semua orang harus memiliki kedekatan khusus untuk bisa berpartisipasi. Demokrasi seharusnya membuka pintu, bukan membangun pagar untuk menentukan siapa yang boleh masuk.


Saya juga menyampaikan permohonan maaf apabila dulu saya pernah berjalan bersama mereka, membangun harapan bahwa ruang ini adalah rumah bagi perubahan dan keadilan. Namun saya memilih tidak melanjutkan langkah yang sama, karena saya tidak ingin menjadi bagian dari kemunafikan yang hari ini semakin tampak jelas. Saya tidak ingin diam ketika hati saya tahu ada yang salah. Proses ini mungkin menyakitkan, tetapi tetap menjadi pelajaran penting. Belajar bukan hanya soal menang atau kalah tetapi tentang keberanian melawan ketidakadilan. Diam di hadapan kezaliman sama saja dengan ikut membiarkan ia tumbuh dan hidup dengan subur.


Biarlah tulisan ini menjadi pengingat. Yang salah bukan pemilwanya. Yang rusak bukan sistemnya. Yang rusak adalah orang-orang yang menjalankannya dengan ambisi, keberpihakan, dan haus jabatan. Mereka lupa bahwa kekuasaan bukan mahkota. Kekuasaan adalah amanah, dan amanah tidak pernah lahir dari ketidakadilan. Ketika proses dipelintir, ketika aturan dijadikan senjata, ketika keberpihakan mengalahkan keadilan, maka yang hancur bukan hanya hasilnya, tetapi kepercayaan kolektif mahasiswa. 


Jika hari ini kita diam, maka besok ketidakadilan akan dianggap biasa. Karena itu, biarlah suara ini menjadi penanda bahwa masih ada mahasiswa yang peduli, yang menolak tunduk, dan yang percaya bahwa demokrasi kampus harus diperjuangkan, bukan dibiarkan mati pelan-pelan.


Penulis: Muhammad Sandika & Subri Rahmadani

×
Berita Terbaru Update